Kamis, 02 Mei 2013

cerita pendek



Hai semua, aku punya sebuah cerpen untuk menghilangkan kebosanan kalian. Cerpen ini mengisahkan tentang hubungan yang ada di sekitar kita. Kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan liku-liku, terutama dalam persahabatan. Dibaca, ya...
 
Runtuh
Kala itu, matahari masih sepenggalan kepalanya. Tetapi dia telah duduk termangut-mangut menatap lembaran kertas yang berkibar-kibar meronta ingin bebas dari gangguan angin lalu. Sebentar-sebentar dia tersenyum, lalu keningnya berkerut menautkan kedua buah alisnya, sebentar lagi tersenyum, lalu berkerut lagi. Begitu saja tampang yang diperlihatkannya.
            “Bukan main hatiku lega alang kepalang. Tak mengapa barang sedikit,” gumamnya pelan.
            Tangannya bergerak merapikan lembaran-lembaran kertasnya yang tersibak oleh angin itu. Ditatapnya lekat panorama di depan sana. Gambaran kota yang berkotak-kotak berserak tak beraturan. Pincang. Berwarna-warni. Hijau pepohonan yang diselingi dengan kuningnya tanah dompeng. Belang.
            Mungkin tak lama lagi semua berubah menjadi kotak rumah toko yang bertingkat-tingkat dengan warna yang diseragamkan, pikirnya melamun.
            “Hei! Melamun rupanya Kawan!” seru seseorang di punggungnya seraya menepuk-nepuk pelan bahunya.
            “Ah! Kau Rojak. Tak baik kau kerjakan yang macam ini,” ujarnya sedikit bernasihat. Tentu saja dia terkejut mendapati kawannya muncul dengan tiba-tiba seperti ini.
            “Dan baikkah seorang diri menerbangkan angannya di tempat seperti ini?” Rojak kembali melontarkan pertanyaan.
            “Ahaha… Tahu jua kau melempar bola. Siapa yang mengguruimu memutar-mutar kata pertahanan?” tanyanya menyelidik.
            “Belum tahu rupanya, aku sering berkirim surat dengan Hotman tiap pekan,” lalu berderailah tawa kawannya itu.
            Semilir angin menerbangkan sisa-sisa tawa kawannya yang kemudian berlabuh pada titik tak berketentuan. Dari atas sini, dilirik-liriknya muka kotanya yang semrawutan. Noktah-noktah kecil di sana terlihat merayap-rayap kelelahan di punggung raya. Tersuruk-suruk menghindari tabrakan ytang memungkinkan untuk terjadi. Amboi! Kota di bawah pelindung cakrawala yang mengharu biru.
            “Mengulang?” tanya Rojak melirik susunan kertas di pangkuannya.
            “Ya, dari nol lagi. Padahal sudah kurampungkan kalimat demi kalimat di halaman penghabisan. Dan kemudian, lenyap begitu saja tanpa ada sebab,” panjang dihela napasnya.
            “Mungkin kau lupa di mana,” Rojak berusaha untuk membantu mengingatkan Irul, kawannya itu.
            “Tahu benar aku meletakkannya. Tak pernah aku menempatkan tulisanku di tempat yang serampangan.”
            “Manusia tak luput dari kealpaan, Kawan.”
            Irul hanya mengangguk pasrah. Kini dirasakannya kehadiran orang semakin meramaikan tempatnya terpekur sendirian. Baying-bayang rimbunnya dedaunan pun juga telah bergeser. Matahari sudah semakin tinggi. Punggungnya kaku terjalari penat yang luar biasa. Irul lalu melompat dari batu pijakannya. Mengedikkan kepala lalu melangkah menuruni anak-anak tangga.
++

Diketuk-ketukkannya pena di atas meja tanpa menghiraukan segelas kopi yang mulai lelah mengeluarkan kepulan asapnya. Jemarinya menelisik kepala, menciba mendeteksi bom pikiran yang tersembunyi.
“Belum juga dapat?” kawannya, Sami’un, bertanya dengan nada prihatin yang dibuat-buat.
Mengganggu saja!
Sempat terbersit ucapan sperti itu dipikirannya, namun, tak sampai hati dia menyinggung Si Sami’un Melankolis itu. Ditatapnya muka Mi’un dengan wajah memelas. Berharap untuk tidak diganggu. Tapi, bukan Sami’un namanya jika dia belum menyampaikan petuah-petuahnya yang layak dihanyutkan itu.
“Jangan pula kau paksakan otakmu itu. Tak mengertikah kau, otak itu bagaikan mesin. Perlu pelumas. Tapi jangan pula kau sirami oli. Tak perlulah seekstrem itu, Kawan,” berhenti sejenak. Menarik napas.
“Aku….”
“Aku tahu. Kau penasaran rupanya. Mudah saja Kawan. Tips paling mujarab ini, Kawan.”
“Aku…,” Irul berusaha untuk menyela rentetan panjang ucapan Sami’un. Namun tak memberikan hasil.
“Baiklah, baiklah. Aku bocorkan saja kuncinya,” suara Mi’un memelan. Lagaknya bak seorang yang begitu penting akan menyampaikan amanat besar. “Hanya satu kata, Kawan! Tapi jangan kau remehkan kata ini : istirahat. Ya, istirahat!” Sami’un terengah-engah saking semangatnya berpetuah pada Irul yang tengah ternganga keheranan. Tampak jelas raut kebingungan terpancar di jernih matanya. Selang beberapa detik, terpingkal-pingkallah irul dibuatnya.
“Eeh, tak mendengarkah kau, Kawan?” Sami’un tersinggung. Raut mukanya mengerut. “Otakmu itu sudah banyak ketukannya. Stocking. Ya, stocking,” dia mengangguk-ngangguk mantap dengan seringaian aneh menghias wajahnya. “Begitulah istilah yang sering kudengar dari bengkel-bengkel motor. Kurasa….” Lalu keraguan menyergapnya perlahan.
Sudah barang tentu stocking itu adalah kaos kaki yang elastis berbahan tipis menerawang. Dan yang dimaksud Mi’un itu sendiri ialah knocking.
“Baiklah, Kawan. Aku mendengar apa katamu itu,” jelas Irul pada Mi’un.
Seketika itu hidung Sami’un kembang-kempis karena bangga pada dirinya yang dapat memberikan saran pada kawan akrabnya itu. Irul lalu meneruskan menggores-goreskan penanya. Sedang Sami’un, dia duduk memperhatikan Irul sambil menyeruput kopinya yang tinggal setengah. Lama mereka terdiam di alamnya sendiri-sendiri. Tak tahan dengan kesenyapan yang tercipta, Mi’un buka suara.
“Benarkah kabar yang kudengar ini? Bahwasanya Rojak mendaftar sayembara jua?”
Irul berdehem singkat. Matanya tak lepas dari tulisannya.
“Mimpi apakah dia sehingga dia berani mendaftar jua?” Sami’un terdiam. Ditatapnya lekat muka Irul,”Tanggapanmu begini saja. Hai! Aku tahu sebabnya. Aku yakin seyakin-yakinnya, kau menyembunyikan sesuatu dariku.”
Irul berhenti sejenak. Sekilas ditengoknya Mi’un yang tengah menatap harap penjelasan darinya. Lalu dihempaskannya pandangannya itu ke hamparan ilalang di depan sana. Bunga-bunga ilalang beterbangan disibak haluan angin kemarau.
“Aku bersua padanya tempo hari,” akhirnya Irul berujar jujur. Tak pernah sedikit pun dia berniat untuk mengatakan ketidakbenaran pada kwannya yang satu ini. Ada rasa keengganan yang timbul dengan naluriah.
“Sudah tertutup rapatkah telingamu itu?” Mi’un mendengus kesal.
“Aku tak ada janji satu apapun dengannya, Kawan,” Irul mencoba mengalihkan perhatian Mi’un.
Sami’un semakin menggerutu.
“Lupakan saja masalah yang lalu itu. Senang benar kau menambah penyakit dengan mengenang yang bukan-bukan,” Irul menyesap kopinya yang telah lama mendingin.
“Kau ini. Tak paham-paham kau dengan tabiat manusia itu!” Mi’un menggeleng-gelengkan kepalanya tanda keheranannya pada irul.
Irul melabuhkan pandangannya di dalam gelas. Matanya beradu dengan pekatnya ampas kopi.”Biarkan saja, Kawan. Bukankah tugas kita untuk memperhitungkan pembalasan. Tapi hanya Allah yang punya kuasa untuk itu.”
Sami’un merengut. Namun di dalam hati, dia sangatlah mengagumi Irul. Banggalah dia dapat mengenal dan menjadikan irul sebagai bagian dari potongan-potongan mozaik hidupnya.
“Kupikir-pikir Kawan. Baiknya kukirim sekarang saja. Tak rajin aku menunda-nunda lagi,” Irul beranjak dari kursi kayunya. Berkeriut-riut bunyi kursi tua itu tergeser.
Sami’un pun langsung melompat dari kursinya. Dan akibat dari geak refleksnya itu, meja terhentak dan gelas-gelas pun bergulingan memuntahkan sisa-sisa cairan pekat hitam kopi. Dengung-dengung obrolan para peminum kopi mendadak terhenti. Dan Sang Juragan kopi berkoar-koar mendamprat Mi’un. Mi’un tak bias berbuat banyak. Bergegar dia menghadapi Juragan yang suaranya meruntuhkan kekuatan Mi’un. Rupanya Juragan tak mau berlama-lama melihat Mi’un terpancang di depan mukanya. Maka dibiarkannya Mi’un pergi.
Berdua mereka berjalan menerabas ilalang. Jalan tanah kuning itu merka telusuri menuju sebuah kantor.
++
Mata Irul menancapkan sorotnya yang suram pada sebuah judul tulisan yang terpampang jelas di kolom majalah. Di sana, telah tersusun rapi barisan kata yang pernah dirangkainya. Ya, dialah yang semestinya memilikinya. Namun, apalah daya namanya kini telah bermetamorfosis menjadi : Rojak! Bukan main. Siapa yang tak meledak jika miliknya dirampas di depan-depannya? Takkan ada Kawan.
“Berulang kali kukata, Kawan. Aku tak percaya dengan manusia itu! Kau saja yang Bengal!” Sami’un menggeram bersemangat.
“Manusia itu tak mengenal kata ‘insyaf’, Kawan! Kini kau pun mesti insyaf seinsyaf-insyafnya dari jalan pikiranmu yang buntu itu, Kawan,” tak puas rupanya Mi’un mengerecoki Irul. Lagu lamanya pun dimulai.
“Kau lihat itu! Bukti nyata yang memang ditunjukkan Allah padamu! Tak tahu malu benar manusia itu!!”
Irul melipat kembali majalah yang mereka beli di pojok pasar tadi. Kini diraihnya sebuah amplop yang terdampar di sebelah majalah yang baru saja dilemparkannya. Dibiarkannya saj Mi’un memulai lagi lagu lamanya mengobral kata-kata. Dibukanya perlahan tepian amplop itu dan ditangkupkannya tangannya menggenggam sepucuk surat.
Surat itu pun kini menertawakannya dengan menggelarinya : plagiat! Sungguh tak kuasa dia menelusuri ejaan-ejaan yang berpilin di sana.
“…surat ini pun akan disiksa api neraka Kawan. Aku berani bertaruh. Kejujuran takkan lagi dimuliakan di sini!” Mi’un menggeber-geberkan surat itu. Lalu mencabik-cabiknya tanpa ampun.
“Tenang saja Kawan. Ada surge untuk manusia-manusia sepertimu!” Sami’un pun menutup pidatonya.
++The End++


Pengen tahu nih, apa komen kalian dengan karyaku yang satu ini..
:)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates