Hai semua, aku punya sebuah cerpen untuk menghilangkan kebosanan kalian. Cerpen ini mengisahkan tentang hubungan yang ada di sekitar kita. Kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan liku-liku, terutama dalam persahabatan. Dibaca, ya...
Runtuh
Kala
itu, matahari masih sepenggalan kepalanya. Tetapi dia telah duduk
termangut-mangut menatap lembaran kertas yang berkibar-kibar meronta ingin
bebas dari gangguan angin lalu. Sebentar-sebentar dia tersenyum, lalu keningnya
berkerut menautkan kedua buah alisnya, sebentar lagi tersenyum, lalu berkerut
lagi. Begitu saja tampang yang diperlihatkannya.
“Bukan main hatiku lega alang
kepalang. Tak mengapa barang sedikit,” gumamnya pelan.
Tangannya bergerak merapikan
lembaran-lembaran kertasnya yang tersibak oleh angin itu. Ditatapnya lekat
panorama di depan sana. Gambaran kota yang berkotak-kotak berserak tak
beraturan. Pincang. Berwarna-warni. Hijau pepohonan yang diselingi dengan
kuningnya tanah dompeng. Belang.
Mungkin
tak lama lagi semua berubah menjadi kotak rumah toko yang bertingkat-tingkat
dengan warna yang diseragamkan, pikirnya melamun.
“Hei! Melamun rupanya Kawan!” seru
seseorang di punggungnya seraya menepuk-nepuk pelan bahunya.
“Ah! Kau Rojak. Tak baik kau
kerjakan yang macam ini,” ujarnya sedikit bernasihat. Tentu saja dia terkejut
mendapati kawannya muncul dengan tiba-tiba seperti ini.
“Dan baikkah seorang diri
menerbangkan angannya di tempat seperti ini?” Rojak kembali melontarkan
pertanyaan.
“Ahaha… Tahu jua kau melempar bola. Siapa
yang mengguruimu memutar-mutar kata pertahanan?” tanyanya menyelidik.
“Belum tahu rupanya, aku sering
berkirim surat dengan Hotman tiap pekan,” lalu berderailah tawa kawannya itu.
Semilir angin menerbangkan sisa-sisa
tawa kawannya yang kemudian berlabuh pada titik tak berketentuan. Dari atas
sini, dilirik-liriknya muka kotanya yang semrawutan. Noktah-noktah kecil di
sana terlihat merayap-rayap kelelahan di punggung raya. Tersuruk-suruk
menghindari tabrakan ytang memungkinkan untuk terjadi. Amboi! Kota di bawah
pelindung cakrawala yang mengharu biru.
“Mengulang?” tanya Rojak melirik
susunan kertas di pangkuannya.
“Ya, dari nol lagi. Padahal sudah
kurampungkan kalimat demi kalimat di halaman penghabisan. Dan kemudian, lenyap
begitu saja tanpa ada sebab,” panjang dihela napasnya.
“Mungkin kau lupa di mana,” Rojak
berusaha untuk membantu mengingatkan Irul, kawannya itu.
“Tahu benar aku meletakkannya. Tak pernah
aku menempatkan tulisanku di tempat yang serampangan.”
“Manusia tak luput dari kealpaan,
Kawan.”
Irul hanya mengangguk pasrah. Kini dirasakannya
kehadiran orang semakin meramaikan tempatnya terpekur sendirian. Baying-bayang
rimbunnya dedaunan pun juga telah bergeser. Matahari sudah semakin tinggi. Punggungnya
kaku terjalari penat yang luar biasa. Irul lalu melompat dari batu pijakannya. Mengedikkan
kepala lalu melangkah menuruni anak-anak tangga.
++
Diketuk-ketukkannya
pena di atas meja tanpa menghiraukan segelas kopi yang mulai lelah mengeluarkan
kepulan asapnya. Jemarinya menelisik kepala, menciba mendeteksi bom pikiran
yang tersembunyi.
“Belum
juga dapat?” kawannya, Sami’un, bertanya dengan nada prihatin yang dibuat-buat.
Mengganggu saja!
Sempat
terbersit ucapan sperti itu dipikirannya, namun, tak sampai hati dia menyinggung
Si Sami’un Melankolis itu. Ditatapnya muka Mi’un dengan wajah memelas. Berharap
untuk tidak diganggu. Tapi, bukan Sami’un namanya jika dia belum menyampaikan
petuah-petuahnya yang layak dihanyutkan itu.
“Jangan
pula kau paksakan otakmu itu. Tak mengertikah kau, otak itu bagaikan mesin. Perlu
pelumas. Tapi jangan pula kau sirami oli. Tak perlulah seekstrem itu, Kawan,”
berhenti sejenak. Menarik napas.
“Aku….”
“Aku
tahu. Kau penasaran rupanya. Mudah saja Kawan. Tips paling mujarab ini, Kawan.”
“Aku…,”
Irul berusaha untuk menyela rentetan panjang ucapan Sami’un. Namun tak
memberikan hasil.
“Baiklah,
baiklah. Aku bocorkan saja kuncinya,” suara Mi’un memelan. Lagaknya bak seorang
yang begitu penting akan menyampaikan amanat besar. “Hanya satu kata, Kawan! Tapi
jangan kau remehkan kata ini : istirahat. Ya, istirahat!” Sami’un terengah-engah
saking semangatnya berpetuah pada Irul yang tengah ternganga keheranan. Tampak jelas
raut kebingungan terpancar di jernih matanya. Selang beberapa detik,
terpingkal-pingkallah irul dibuatnya.
“Eeh,
tak mendengarkah kau, Kawan?” Sami’un tersinggung. Raut mukanya mengerut. “Otakmu
itu sudah banyak ketukannya. Stocking. Ya, stocking,” dia mengangguk-ngangguk
mantap dengan seringaian aneh menghias wajahnya. “Begitulah istilah yang sering
kudengar dari bengkel-bengkel motor. Kurasa….” Lalu keraguan menyergapnya
perlahan.
Sudah
barang tentu stocking itu adalah kaos kaki yang elastis berbahan tipis
menerawang. Dan yang dimaksud Mi’un itu sendiri ialah knocking.
“Baiklah,
Kawan. Aku mendengar apa katamu itu,” jelas Irul pada Mi’un.
Seketika
itu hidung Sami’un kembang-kempis karena bangga pada dirinya yang dapat
memberikan saran pada kawan akrabnya itu. Irul lalu meneruskan
menggores-goreskan penanya. Sedang Sami’un, dia duduk memperhatikan Irul sambil
menyeruput kopinya yang tinggal setengah. Lama mereka terdiam di alamnya sendiri-sendiri.
Tak tahan dengan kesenyapan yang tercipta, Mi’un buka suara.
“Benarkah
kabar yang kudengar ini? Bahwasanya Rojak mendaftar sayembara jua?”
Irul
berdehem singkat. Matanya tak lepas dari tulisannya.
“Mimpi
apakah dia sehingga dia berani mendaftar jua?” Sami’un terdiam. Ditatapnya lekat
muka Irul,”Tanggapanmu begini saja. Hai! Aku tahu sebabnya. Aku yakin
seyakin-yakinnya, kau menyembunyikan sesuatu dariku.”
Irul
berhenti sejenak. Sekilas ditengoknya Mi’un yang tengah menatap harap
penjelasan darinya. Lalu dihempaskannya pandangannya itu ke hamparan ilalang di
depan sana. Bunga-bunga ilalang beterbangan disibak haluan angin kemarau.
“Aku
bersua padanya tempo hari,” akhirnya Irul berujar jujur. Tak pernah sedikit pun
dia berniat untuk mengatakan ketidakbenaran pada kwannya yang satu ini. Ada rasa
keengganan yang timbul dengan naluriah.
“Sudah
tertutup rapatkah telingamu itu?” Mi’un mendengus kesal.
“Aku
tak ada janji satu apapun dengannya, Kawan,” Irul mencoba mengalihkan perhatian
Mi’un.
Sami’un
semakin menggerutu.
“Lupakan
saja masalah yang lalu itu. Senang benar kau menambah penyakit dengan mengenang
yang bukan-bukan,” Irul menyesap kopinya yang telah lama mendingin.
“Kau
ini. Tak paham-paham kau dengan tabiat manusia itu!” Mi’un menggeleng-gelengkan
kepalanya tanda keheranannya pada irul.
Irul
melabuhkan pandangannya di dalam gelas. Matanya beradu dengan pekatnya ampas
kopi.”Biarkan saja, Kawan. Bukankah tugas kita untuk memperhitungkan
pembalasan. Tapi hanya Allah yang punya kuasa untuk itu.”
Sami’un
merengut. Namun di dalam hati, dia sangatlah mengagumi Irul. Banggalah dia
dapat mengenal dan menjadikan irul sebagai bagian dari potongan-potongan mozaik
hidupnya.
“Kupikir-pikir
Kawan. Baiknya kukirim sekarang saja. Tak rajin aku menunda-nunda lagi,” Irul
beranjak dari kursi kayunya. Berkeriut-riut bunyi kursi tua itu tergeser.
Sami’un
pun langsung melompat dari kursinya. Dan akibat dari geak refleksnya itu, meja
terhentak dan gelas-gelas pun bergulingan memuntahkan sisa-sisa cairan pekat
hitam kopi. Dengung-dengung obrolan para peminum kopi mendadak terhenti. Dan Sang
Juragan kopi berkoar-koar mendamprat Mi’un. Mi’un tak bias berbuat banyak. Bergegar
dia menghadapi Juragan yang suaranya meruntuhkan kekuatan Mi’un. Rupanya Juragan
tak mau berlama-lama melihat Mi’un terpancang di depan mukanya. Maka dibiarkannya
Mi’un pergi.
Berdua
mereka berjalan menerabas ilalang. Jalan tanah kuning itu merka telusuri menuju
sebuah kantor.
++
Mata
Irul menancapkan sorotnya yang suram pada sebuah judul tulisan yang terpampang
jelas di kolom majalah. Di sana, telah tersusun rapi barisan kata yang pernah
dirangkainya. Ya, dialah yang semestinya memilikinya. Namun, apalah daya
namanya kini telah bermetamorfosis menjadi : Rojak! Bukan main. Siapa yang tak
meledak jika miliknya dirampas di depan-depannya? Takkan ada Kawan.
“Berulang
kali kukata, Kawan. Aku tak percaya dengan manusia itu! Kau saja yang Bengal!”
Sami’un menggeram bersemangat.
“Manusia
itu tak mengenal kata ‘insyaf’, Kawan! Kini kau pun mesti insyaf
seinsyaf-insyafnya dari jalan pikiranmu yang buntu itu, Kawan,” tak puas
rupanya Mi’un mengerecoki Irul. Lagu lamanya pun dimulai.
“Kau
lihat itu! Bukti nyata yang memang ditunjukkan Allah padamu! Tak tahu malu
benar manusia itu!!”
Irul
melipat kembali majalah yang mereka beli di pojok pasar tadi. Kini diraihnya
sebuah amplop yang terdampar di sebelah majalah yang baru saja dilemparkannya. Dibiarkannya
saj Mi’un memulai lagi lagu lamanya mengobral kata-kata. Dibukanya perlahan
tepian amplop itu dan ditangkupkannya tangannya menggenggam sepucuk surat.
Surat
itu pun kini menertawakannya dengan menggelarinya : plagiat! Sungguh tak kuasa
dia menelusuri ejaan-ejaan yang berpilin di sana.
“…surat
ini pun akan disiksa api neraka Kawan. Aku berani bertaruh. Kejujuran takkan
lagi dimuliakan di sini!” Mi’un menggeber-geberkan surat itu. Lalu mencabik-cabiknya
tanpa ampun.
“Tenang
saja Kawan. Ada surge untuk manusia-manusia sepertimu!” Sami’un pun menutup
pidatonya.
++The End++
Pengen tahu nih, apa komen kalian dengan karyaku yang satu ini..
:)
0 komentar:
Posting Komentar